Oleh:
Jacub Rais
Senior Policy Advisor on Governance
Coastal Resources Management Project (Proyek Pesisir)
jrais@indo.net.id; crmp@cbn.net.id; jrais@gd.itb.ac.id
ABSTRAK
Indonesia mengklaim memiliki 17.508 pulau-pulau, namun tidak pernah ada dokumentasi resmi yang dipublikasi luas tentang nama-nama pulau tersebut. Ada tiga publikasi dari lembaga-lembaga pemerintah tentang nama-nama geografis dari pulau-pulau, yaitu Daftar Pulau-Pulau Indonesia oleh Pusat Survey dan Pemetaan ABRI (1987) yang mencatat 5707 nama-nama pulau, termasuk 337 nama-nama pulau di sungai, Gazetteer Nama-Nama Pulau & Kepulauan di Indonesia oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (1992) yang mencatat 6.489 nama-nama pulau, termasuk 374 nama-nama pulau di sungai dan LIPI (1972) pernah mempublikasi adanya 6.127 nama-nama pulau. Publikasi-publikasi tersebut tidak mencantumkan dengan jelas metodologi dan prosedur baku yang dipakai untuk menginventarisasi nama-nama pulau serta posisi geografisnya di muka bumi, kecuali publikasi Bakosurtanal. Nama dan penamaan nama-nama pulau termasuk kegiatan penamaan geografis unsur-unsur muka bumi. Menurut resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Konperensi PBB tentang Standardisasi Nama-Nama Geografis No.4 Tahun 1972 di bawah naungan UN Economic and Social Council (UN-ECOSOC), menyatakan bahwa setiap negara anggota harus membentuk suatu otoritas nama-nama geografis nasional (National Names Authority) dengan nama apapun juga, yang merupakan institusi resmi yang menetapkan standardisasi, prosedur, kebijakan, dan tata cara penamaan dan penulisan nama-nama geografis serta menerbitkan gasetir nasional sebagai dokumen resmi.
Makalah ini menguraikan masalah penamaan geografis di Indonesia dalam rangka otonomi Daerah (Provinsi, Kabupaten / Kota).
Kata kunci: toponym, toponymy, nama geografis, nama generik, nama spesifik
----------
I. PENDAHULUAN
Nama-nama geografis adalah nama-nama unsur-unsur di muka Bumi, di dasar laut maupun nama-nama di luar Bumi (extra terrestrial), seperti di bulan dan di planet-planet. Unsur-unsur tersebut dapat berupa unsur alam (gunung, sungai, tanjung, laut, pulau, bukit, dsb.), unsur buatan termasuk unsur pemukiman (kota, desa, kawasan pemukiman, dsb), unsur non-pemukiman (jalan, jembatan, bandar udara, pelabuhan, kawasan industri, dsb.) serta unsur-unsur administratif berupa wilayah administratif, seperti provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, kawasan lindung, kawasan konservasi, taman nasional, dsb.
Nama-nama geografis dalam istilah Inggris disebut toponym, yaitu nama-nama unsur topografi, baik topografi bumi, bulan, planet-planet. Sedangkan “toponymy” adalah studi atau kajian tentang aspek yang terkait dengan penamaan geografis, antara lain, aspek-aspek antroplogi, geografi sejarah, bahasa dan linguistik (seperti transkripsi dari bahasa ucapan menjadi bahasa tulisan atau transliterasi, yaitu konversi nama darai satu sistem aksara ke sistem aksara yang lain), dsb.(Raper 1996}
Sejak manusia mengorientasi dirinya terhadap lingkungannya dan berkomunikasi satu sama lain, maka nama geografis dari unsur di muka Bumi untuk mengidentifikasi posisinya dan arahnya adalah penting untuk acuan berbagai kegiatan manusia sendiri. Sejak berkembangnya kebudayaan Mesir kuno dan kebudayaan Mesopotamia nama-nama geografi telah masuk perbendaharaan kata-kata mereka.
Begitu manusia menetap di suatu wilayah, mereka mulai memberi nama unsur-unsur muka Bumi di sekitar lingkungannya untuk acuan mereka. Bagaimana nama diberikan, umum diketahui ada yang berasal dari ceritera rakyat atau legenda, seperti nama gunung di Jawa Barat yang bernama Gunung Tangkuban Perahu. Legenda yang sama juga ada di Jawa Timur tentang terjadinya Gunung Batok. Juga legenda yang menceriterakan asal-usul nama kota Banyuwangi. Nenek moyang kita memberi nama unsur geografis berdasarkan apa yang mereka lihat saat kunjungan pertama kali seperti nama pohon, binatang, kembang dsb. Oleh karea itu ada nama geografis seperti desa Kemang, pulau Bangka, pulau Kelapa, pulau Pisang, tanjung Duren, desa Cimacan, Sungai Ular, desa Cimelati, desa Sembodja, dst, dst.
Yang menarik adalah sebutan generik dari unsur-unsur geografis, seperti sungai dalam bahasa asli Melayu, menjadi Wai di Lampung, seperti Wai Seputih atau Ci di Jawa Barat. Istilah “wai” juga terdapat di pulau-pulau di Samudera Pasifik, yang artinya “air” dalam bahasa Polinesia, seperti Waikiki. Istilah “bukit” di Indonesia mungkin juga berasal dari bahasa Polinesia “phuke” (di salah satu pulau ada yang disebut “Phuke Rua” artinya “Bukit Dua”), menjadi “Phuket” di Thailand (ada pulau Phuket) dan menjadi “Buket” di Malaysia. Tentunya ada keterkaitan sejarah pemukiman di kawasan Asia Tenggara yang pernah didiami oleh suku bangsa Polinesia di masa lalu yang kemudian membaur dengan suku bangsa Melayu. Di Bengkulu ada istilah “tanjung”, ujung” dan “caku” yang artinya sama.
Nama –nama tempat yang terkait dengan suku Melayu Tua “Proto Malay” yang datangnya dari lembah Irawadi ke selatan dan akhirnya bermukim sebagai suku Dayak Iban juga membawa pengaruh atas nama-nama geografis. Begitu juga kedatangan suku-suku Melayu Muda (Deutero Malay) dari teluk Tongkin ke selatan membawa nama-nama geografis dengan banyak memakai bunyi suara “eu”, seperti di Jawa Barat : Pameungpeuk, Cibeureum dsb dan di Aceh: Birueun, Lhok Seumawe, pulau Simeulue. Dengan kata lain, dari nama-nama geografis (toponym) kita dapat mengungkap sejarah pemukiman manusia sejak nenek moyang kita datang ke Asia Tenggara ini, lebih dari 3000 tahun sebelum Masehi.
Penjajah Portugis, Belanda dan Inggeris juga banyak meninggalkan bekas pada nama-nama geografis di Indonesia dan Timor Leste yang kemudian diucapkan dengan lidah Indonesia, seperti Vikeke dari Viqueque (bahasa Portugis di Timor Leste), Malioboro dari Malborough (Inggeris), Glemor dari Glenn More (Inggeris), Sanpur dari Zandvoort (Belanda), Padangbai dari Padangbaai (Belanda), Betawi dari Batavia (Belanda).
Sejak berkembangnya media massa dan percetakan, pemakaian internasional dan interlinguistik dari nama-nama geografis makin meningkat, dan nama-nama ini merupakan bagian dari suatu dokumen yang namanya “peta” sejak abad pertengahan (Orth 1986). Akhirnya nama geografis merupakan unsur penting dalam aktivitas sosial-ekonomi, seperti perdagangan, jasa pos, operasi pertolongan di darat dan di laut, sensus dan sebagainya.
Secara internasional, nama-nama geografis yang disajikan melalui peta adalah sarana komunikasi yang ampuh antar bangsa, dan oleh karena itu menjelang akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1871 diadakan International Geographical Congress di Antwerpen, yang membahas perlunya uniformitas dalam bentuk tulisan dari nama-nama geografis yang dipakai pada peta dan laporan-laporan geografis lainnya. Negara-negara Eropa sepakat memakai alfabet Romawi sebagai rekomendasi yang pertama, yang didukung oleh Universal Postal Union untuk menulis nama-nama kantor pos (Ibid.). Sejak itu pula dilakukan usaha romanisasi peta-peta dari yang memakai abjad non-romawi, seperti dari sistem tulisan Cina, Cyrillic (Rusia, Yugoslavia, Bulgaria), Amharic (Ethiopia), Arab, Hebrew, Greek,Thai, Khmer, Persia, Devanagari (India), Honji (Jepang), Korea, dsb.
II. PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB)
Sejak Perang Dunia II usai dan PBB dibentuk, badan ini menaruh perhatian besar tentang usaha standarisasi nama-nama geografis, karena sebenarnya banyak faktor yang ikut campur dalam komunikasi yang efektif dari nama-nama geografis, antara lain:
• • Banyak nama-nama tempat yang mempunyai lebih dari satu nama dalam satu negara yang sama atau di negara lain
• • Banyak nama diaplikasikan pada lebih dari satu unsur
• • Nama yang sama di-eja dalam berbagai cara
• • Orang-orang dalam satu negara atau sata bahasa memberi nama dari tempat atau negara lain yang berbeda dengan nama lokalnya
• • Perlu percepatan usaha Romanisasi nama-nama geografis dari sistem tulisan Non-Romawi
Oleh karena itu PBB membentuk UN Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) sebagai bagian dari UN Economic and Social Council (Dewan Ekonomi dan Sosial PBB). UNGEGN adalah salah satu dari 7 badan penting UN-ECOSOC, dibentuk berdasarkan Resolusi UN-ECOSOC No.715 (XXVII) pada tgl. 3 April 1959 dan No.1314 (XLIV) pada tgl. 31 Mei 1968. Tujuannya adalah antara lain, memajukan usaha pembakuan nama-nama geografis tingkat internasional dan nasional. Usaha-usaha pembakuan tingkat internasional dimulai dengan usaha pembakuan di tingkat nasional. Hasil kegiatan UNGEGN dibawa ke Sidang UN Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN) yang mengadopsi resolusi-resolusi yang menjadi pegangan bagi semua negara anggota PBB, termasuk Indonesia.
Resolusi terpenting adalah Resolusi No. 4 Tahun 1967 di Geneva, yang bunyi Rekomendasinya sbb.”Langkah pertama dalam standarisasi internasional, agar masing-masing negara membentuk satu Otoritas Nama-nama Geografi Nasional (National Geographical Names Authority)”, yang merupakan instansi pemerintah. Bentuk otoritas ini dapat berupa suatu badan, atau badan koordinasi atau komite tetap yang secara jelas mempunyai mandat untuk standarisasi nama-nama geografi secara nasional, membuat kebijakan-kebijakan , prosedur serta dokumentasi yang tertib dalam wilayah nasionalnya.
Ada satu Rekomendasi UNCOGN Nomor 16 Tahun 1977 di Athene, yang merekomendasi bahwa “semua perobahan dari nama geografis yang tidak dibuat oleh otoritas nama-nama geografis nasional yang kompeten, supaya tidak diakui oleh PBB”
Rekomendasi nomor 24 tahun 1987 di Montreal mengharuskan semua negara anggota PBB menyampaikan informasi tentang kegiatan negara yang terkait dengan nama-nama geografis. Yang menarik dari rekomendasi ini adalah pada Konperensi tersebut, Indonesia menyampaikan bahwa jumlah pulau-pulau kita meningkat dari 13,667 menjadi 18,507 tanpa ada laporan kegiatan, bagaimana jumlah pulau diketemukan dan bagaimana tatacara pemberian nama-nama pulau tersebut. Mungkin rekomendasi itu dibuat karena kasus Indonesia yang belum menbentuk otoritas nama-nama geografis, tiba-tiba sudah dapat menyampaikan laporan penambahan jumlah pulau yang sebagian besar tanpa nama.
Indonesia sampai saat ini belum membentuk otoritas yang dimaksud oleh Resolusi UN-CSGN No. 4 Tahun 1972. Bentuk otoritas dapat berupa Komite Tetap (Permanent Committee) seperti di Kanada atau Board of Geographical Names seperti di USA yang dibentuk dengan undang-undang: Public Law 80 – 242 Tahun 1947., sebagai satu-satunya otoritas penamaan unsur geografis di Amerika Serikat, terutama menyiapkan uniformitas nomenklatur unsur-unsur geografis dan membakukan ortografi (ejaan yang benar dari suatu kata) bagi kepentingan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat.
Indonesia saat ini sedang mempersiapkan rancangan Keputusan Presiden tentang Pedoman Pembakuan, Pemberian, Perobahan dan Penghapusan Nama Geografis. Walaupun belum berupa suatu badan otoritas, namun diusulkan adanya tim pakar di tingkat pusat dan daerah yang merupakan embryo sebagai suatu otoritas yang mengkaji dan meneliti usaha-usaha yang disebut dalam judul Rancangan Keppres tersebut.
Ada resolusi UNCSGN Nomor 16 tahun 1977 di Athena, merekomendasi bahwa “perobahan nama geografis baku oleh otoritas lain di luar otoritas nama-nama geografis, tidak diakui oleh PBB”
III. NAMA-NAMA GEOGRAFIS DARI PULAU-PULAU
Prosedur pemberian nama-nama (geografis) pulau-pulau tidak berbeda dengan penamaan unsur-unsur geografis daratan lainnya. Prioritas Indonesia dalam lima tahun mendatang (20002-2007) adalah menentukan jumlah, nama dan posisi pulau-pulau yang kita klaim ada 17,508 buah. Hal ini terkait dengan laporan yang disampaikan oleh delegasi RI pada UNCSGN 1987 di Montreal bahwa Indonesia melaporkan jumalh pulau-pulau telah meningkat dari 13,677 menjadi 17,508 buah. Konperensi waktu itu meminta agar Indonesia segera menyampaikan ke Sekretariat PBB dokumentasi baku tentang nama pulau-pulau tersebut, yang sampai saat ini kita belum dapat memenuhinya
1. Definisi Pulau
UNCLOS 1982, pasal 121 memberi definisi tentang rezim pulau, sebagai “daratan yang terbentuk secara alami dikelilingi oleh air yang selalu berada di atas pasut tinggi (high tide)”. Dengan kata lain, pulau tidak boleh tenggelam pada muka air tinggi, apalagi air tertinggi. Oleh karena itu dalam memanfaatkan peta untuk menentukan pulau-pulau, jangan memakai peta navigasi, karena per definisi peta navigasi adalah peta dengan acuan tinggi muka lautnya adalah pasut terrendah (the lowest low tide), agar peta navigasi tersebut menampakkan semua unsur-unsur bawah laut untuk keselamatan pelayaran. Itupun termasuk kegiatan otoritas nama-nama geografis untuk memberi nama-nama unsur bawah muka laut (Maritime and Undersea Feature Names), yang buka masuk katagori pulau.
Peta dengan acuan muka laut pada pasut tinggi adalah peta batimetri umum, namun hati-hati karena banyak peta batimetri memakai muka laut rata-rata sebagai acuan tinggi. Demikian pula peta rupabumi (topografi) memakai acuan tinggi adalah muka laut rata-rata atau geoid, karena semua tinggi unsur-unsur muka bumi seperti gunung, dsb adalah terhadap muka laut rata-rata.
2. Metodologi Pengumpulan Nama Pulau
• • Sebagaimana pengumpulan nama unsur-unsur geografis lainnya yang juga berlaku untuk pulau-pulau, adalah mendatangi pulau tsb dan bicara dengan penduduk setempat atau penduduk di tepi pantai terdekat di mana hidup nelayan atau mereka yang kegiatannya ada di laut untuk diwawancarai.
• • Prosedur baku adalah mencatat nama geografis pulau, sekurang-kurangnya dari 3 orang yang berbeda dengan mencatat ucapan mereka sewaktu menyebut nama pulau (sebaiknya dengan tape recorder), kemudian mentranskripsi dari nama ucapan yang didengar menjadi bentuk tulisan sesuai dengan fonetiknya. Nama dan fonetiknya dicatat dalam suatu formulir yang dipersiapkan. Daftar nama yang telah ditetapkan dalam suatu wilayah administratif akhirnya harus disetujui oleh Kepala Desa terkait (unit administratif yang terkecil).
• • Posisi pulau itu diukur dengan alat GPS sederhana, bila mungkin koordinat titik centroid dari pulau. Kalau pulau itu cukup besar, posisinya dapat diukur dengan beberapa titik yang merupakan ujung-ujung pulau tersebut.
• • Catat informasi biofisik dari pulau, selain informasi tentang wilayah administratif, jumlah penduduk, jika ada, serta kegiatan sosio-ekonomi penduduk, dsb..
• • Kita dapat memakai peta skala besar atau foto udara/citra satelit resolusi tinggi jika ada. Kalau pulau itu lebih kecil dari resolusi citra/foto udara tentunya pulau tersebut tidak terlihat dalam foto udara/citra.
IV. PRINSIP-PRINSIP PEMBERIAN NAMA UNSUR GEOGRAFIS
Prinsip 1: Satu nama untuk satu unsur. Hindari sebuah nama diterapkan pada banyak unsur-unsur dalam satu wilayah administratif
Umumnya nelayan memberi nama pulau berdasarkan apa yang dilihat atau yang menyolok di pulau tersebut. Oleh karena itu banyak sekali terdapat pulau bernama pulau Pisang, pulau Kelapa, pulau Karang, dsb.
Prinsip 2: Pakai nama dalam kebiasaan lokal dan hindari nama asing atau nama dalam bahasa asing
Banyak nama-nama pulau, khususnya di pulau Seribu, memakai nama yang asing bagi telinga penduduk atau nama komersial
Prinsip 3: Hindari memakai nama orang yang masih hidup
Banyak orang memberi nama unsur geografis dengan nama orang yang masih hidup yang dinilai mempunyai jasa, baik bagi daerah tersebut maupun secara nasional. Banyak kepercayaan masyarakat di muka bumi ini bahwa memberi nama tempat/pulau dengan nama orang yang masih hidup adalah tabu atau dapat mendatangkan malapetaka baik bagi unsur yang diberi nama atau orang itu sendiri yang namanya dipakai.
Contoh: Sewaktu Irian Jaya kembali kepangkuan RI, ibukotanya yang semula bernama Hollandia, diganti nama dengan Sukarnopura. Hal ini tidak berlaku lama karena Bung Karno sendiri tidak merasa “enak”, akhirnya beliau ganti dengan nama “Jayapura”. Sebaliknya nama sebuah bukit di Kalimantan Timur yang diberi nama Bukit Suharto, mengalami nasib yang jelek karena bukit itu selalu mengalami kebakaran setiap tahun.
Prinsip 4 : Hindari memberi nama yang dapat menghina Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)
Hampir di semua negara menghindari memberi nama yang menyinggung perasaan orang, agama, suku atau golongan. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, US Board of Geographic Names Policy V menyatakan, kutip buka: “Derogatory Names: The Board has a firm policy prohibiting the inclusion of a word in an official geographic names considered by the Board to be derogatory to any racial, ethnic, gender or religious group”, kutip tutup.(USGS-GNIS 1989)..
Prinsip 5: Memakai adjad Romawi atau huruf Latin
Indonesia telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dengan memakai abjad Romawi atau huruf latin dalam tulisan.
.
Prinsip 6: Tidak memakai nama dalam bahasa asing
Prinsip 7: Hindari memakai nama yang panjang
Di Sumatera Utara banyak ditemukan nama desa yang sangat panjang, seperti di bawah ini:
Purbasinombamandalasena, Dalihannataluhutaraja, Hutalosungparandolok Lorong Tiga, Gunungmanaonunterudang.
Nama yang panjang ini tidak efisien dalam berkomunikasi dan tidak perlu dipertahankan. Juga di Amerika Serikat berlaku hal serupa, Policy IX dari US Board of Geographic Names, menyatakan, kutip buka “Almost since its inception, the US Board of Geographic Names has expressed a preference against long and clumsy constructed domestic names. Kutip tutup. (Ibid.)
Prinsip 8 : Nama yang ditetapkan oleh Undang-Undang atau Keputusan Presiden mempunyi prioritas yang tinggi
Prinsip 9: Ada nama yang dapat ditetapkan oleh otoritas lain, seperti nama Taman Nasional, Monumen Nasional, Kawasan Rekreasi. Kawasan Margasatwa, Hutan Negara, Kawasan Lindung dsb.
Prinsip 10: Hindari nama varian (nama alias) untuk suatu unsur
V. KAEDAH PENULISAN NAMA GEOGRAFIS DALAM BAHASA INDONESIA
Nama-nama geografis terdiri dari dua bagian, yaitu (a) nama generik dan (b) nama spesifik. Nama generik adalah sebutan mengenai bentuk unsur geografisnya, seperti pulau, sungai, gunung, bukit, tanjung. Nama spesifik adalah nama diri dari unsur geografis.
Nama generik di Indonesia dapat dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa-bahasa suku bangsa yang mendiami daerah terkait.
Contoh:
• • sungai dalam bahasa Indonesia menjadi air, aek, aik, ai, oi, kali, batang, wai, ci, brang, jeh, nanga, krueung, dst
• • gunung dalam bahasa Indonesia menjadi, dolok, buku, bulu, deleng, keli, wolo, cot, batee, dst
• • pulau dalam bahasa Indonesia menjadi nusa, mios, meos, pulo, dst
• • dst
Kaedah 1: Dalam penulisan nama geografis, nama generik ditulis terpisah dari nama spesifik. Di mana nama generik dari bahasa lokal ada, maka nama generik dalam bahasa Indonesia tidak lagi.
Misalnya sungai di Lampung bernama Wai Seputih (ditulis terpisah), tidak disebut lagi dengan Sungai Wai Seputih. Ci Tarum di Jawa Barat tidak lagi disebut Sungai Ci Tarum. Bengawan Solo pernah di masa lalu dinamakan Kali Solo, tetapi tidak disebut Kali Bengawan Solo. Batang Hari di Jambi dan bukan Sungai Batanghari
Kaedah 2: Jika nama spesifik, umumnya nama tempat, kota, desa dsb. memakai nama generk dalam nama dirinya, maka nama spesifik ditulis sebagai satu kata.
Misalnya: kota di pulau Nias ditulis Gunungsitoli (ditulis dengan satu kata), bukan Gunung Sitoli, karena ini bukan nama gunung. Kata generiknya yang benar tetapi jarang ditulis adalah “Kota”. Lihat bedanya: Gunung Merapi dan (Kota) Gunungsitoli
Di bawah ini nama-nama spesifik yang harus ditulis dengan satu kata: Bukittinggi, Sungaipenuh, Cimahi, Tanjungpinang, Tanjungpriok (Tanjungperiuk), Kalideres, Muarajambi, Airmadidi, dst.
Kaedah 3: Jika nama spesifik ditambah dengan kata sifat atau penunjuk arah dibelakangnya, maka ditulis terpisah
Misalnya: Jawa Barat, Kebayoran Baru, Sungai Tabalong Kiwa, Kotamubago Selatan, Panyabungan Tonga (tonga = tengah dalam bahasa Tapanuli), Durentiga Selatan, dst.
Kaedah 4: Jika nama spesifik terdiri dari kata berulang, maka ditulis sebagai satu kata.
Misalnya: Bagansiapiapi, Siringoringo, Mukomuko
Kaedah 5: Nama spesifik yang ditulis dengan angka sebagai penomoran, maka nomor ditulis dengan huruf
Misalnya: Depok Satu, Depok Dua, Koto Ampek, Depok Timur Satu
Kaedah 6: Nama spesifik yang terdiri dari dua kata benda, maka ditulis sebagai satu kata
Misalnya: Tanggabosi, Bulupayung, Pagaralam, dst.
Kaedah 7: Nama spesifik terdiri dari kata benda diikuti dengan nama generik, maka ditulis sebagai satu kata:
Misalnya: Pintupadang, Pagargunung, Pondoksungai, Kayulaut, dst
KESIMPULAN
1. 1. Nama geografis bukan sekedar “what is in a name?, kata orang Inggris. Di belakang nama geografis tersembunyi sejarah pemukiman, kebudayaan, bahasa dari bangsa-bangsa yang pertama kali memberi nama pada suatu unsur geografis. Ia bagian dari sejarah pemukiman manusia yang panjang.
2. 2. Penamaan/pencatatan nama-nama pulau-pulau harus melalui survey lapangan dan mencatat nama dari bahasa ucapan penduduk lokal di pulau atau di pantai daratan menjadi bahasa tulisan dalam abjad Romawi
3. 3. Bagi pulau yang tak bernama, wajib diberi nama dengan nama yang diberi oleh penduduk lokal atau kebiasaan local
4. 4. Pemakaian peta, citra/foto udara hanya dapat membantu jika skala atau resolusinya tinggi, sehingga memudahkan mengidentifikasi pulau-pulau di laut luas.
5. 5. Tim survey lapangan sebaiknya terdiri dari seorang surveyor pemeta, seorang ahli antropologi/sejarah/bahasa lokal, seorang dari pemerintahan setempat dan seorang mahasiswa teknik/hokum/sosial
SARAN-SARAN
1. 1. Pemerintah Pusat segera membentuk “National Names Authority” dengan nama apapun juga, di bawah kendali Departemen Dalam Negeri, sepanjang tugas dan fungsinya sesuai dengan Resolusi UNCSGN No.4 Tahun 1967.
2. 2. Organisasi tersebut pada angka 1 menetapkan kebijakan, prosedur dan tata cara pemberian, perobahan dan penghapusan nama-nama geografis di Indonesia
3. 3. Penamaan nama-nama pulau dan unsur-unsur geografis lainnya menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi dalam batas kewenangan Daerah di laut termasuk peranggarannya. Penamaan unsure yang lintas Provinsi menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat
4. 4. Pemerintah Pusat dibantu dengan Tim Pakar memvalidasi hasil survey yang dilakukan oleh Daerah..
5. 5. Pemerintah Pusat d.h.i Departemen Dalam Negeri melaporkan kegiatan penamaan geografis di Indonesia kepada Sekretariat PBB sesuai Resolusi UNCSGN No. 24 Tahun 1987
6. 6. Agar Indonesia aktif kembali dalam UN Group of Experts on Geographical Names for Asia, South-East and Pacific, South-West
7. 7. Agar Pemerintah menerbitkan Gasetir Nasional Nama-Nama Geografis dan menyebarluaskan nama-nama geografis baku serta tata cara penulisannya untuk dimanfaatkan oleh semua instansi pemerintahan, perguruan tinggi, media massa dan publik pada umumnya dan disimpan di Badan Arsip Nasional.
DAFTAR ACUAN (REFERENCES)
Breau, J. 1986. Progress and Development in Standardizing Geographical Names within the Framework of the United Nations. World Cartography. Vol.XVIII. United Nations Publications. New York, New York.
Canadian Government. 1999. Principles and Procedures for Geographical Naming. Canadian Permanent Committee on Geographical Names. Ottawa, Canada
Orth, D. J. 1986. Guidelines for Establishing a National Geographical Names Authority and Planning a Standardization Program. World Cartography Vol.XVIII. United Nations Publications. New York, New York
Parker, J.R. 2000. Geographic Names and the Asia-Pacific Spatial Data Infrastructure. Australian Paper Presented at the 15th UN Regional Cartographic Conference for Asia and the Pacific. Kuala Lumpur, Malaysia
Raper, E.P. 1996. United Nations Documents on Geographical Names. Prepared for UN Group of Experts on Geographical Names, Names Research Institute. Cause, Pretoria
United Nations. 1983. The Law of the Sea – Official Text of the United Nations Convention on the Law of the Sea. United Nations Publication. New York, New York
USGS-GNIS (US Geological Survey – Geographic Names Information System). 1989. Principles, Policies, and Procedures: Domestic Geographic Names. US Board of Geographic Names Publications. Washington, DC
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar